Kalau Tambang Ditutup, Kami Makan Apa? Suara Warga Ketapang

medik-tv.com Ketapang – Di balik gemerlap emas, tersimpan kisah getir para warga di Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang. Selama puluhan tahun, aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) terus berlangsung tanpa ada kepastian hukum. Hingga kini, izin resmi berupa Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diharapkan penambang masih sebatas impian.

Namun, di tengah ketidakpastian itu, ribuan orang menggantungkan hidup di lokasi tambang emas. Mereka bukan hanya penambang, tetapi juga pedagang, mekanik, hingga pengerit minyak yang sama-sama bertaruh nasib demi sesuap nasi.

Kalau Tidak Nambang, Mau Kerja Apa Lagi?

Supri (57), salah satu penambang, mengaku tak punya pilihan lain. Usianya yang tak lagi muda dan minim pendidikan membuat tambang menjadi satu-satunya tempat ia mencari rezeki.

“Iya kalau tidak kerja tambang, mau kerja apalagi. Umur sudah tua, sekolah juga tidak. Ini satu-satunya kerjaan saya,” kata Supri kepada Medik-TV, Selasa (27/8/2025).

Setiap hari, Supri bekerja sejak matahari terbit hingga bintang bertaburan di langit. Ia menggali tanah demi butiran emas yang tak menentu hasilnya.

“Kadang ada hasil, kadang tidak. Kalau lagi dapat ya 4–6 gram sehari, dibagi enam orang. Tapi sering juga dua hari kosong sama sekali,” ujarnya lirih.

Bukan Hanya Penambang yang Bergantung

Bukan cuma pekerja tambang yang hidup dari emas. Novi, seorang pedagang sembako dan makanan, sudah delapan tahun berjualan di lokasi tambang. Dari dagangannya, ia bisa menyekolahkan anak dan memenuhi kebutuhan keluarga.

“Kalau tambang ditutup, anak-anak makan apa? Jualan ini satu-satunya jalan buat saya bertahan,” ucap Novi.

Hal serupa dirasakan Pak Sirat (72), penambang senior yang sudah 26 tahun mengais rezeki dari emas. Tubuhnya yang renta tak menghalanginya tetap bekerja di lubang tambang. Namun, ia berharap ada solusi jika tambang benar-benar ditutup.

See also  Kisah Pemilik Kafe ‘Ruang Rindu’, Anak Tukang Bakso yang Bermental Entrepreneur

“Kalau mau ditutup, ya dari dulu. Sekarang ini sudah jadi sumber hidup orang banyak. Harapan saya, dilegalkan dengan WPR dan IPR,” kata Sirat.

Antara Harapan dan Risiko

Aktivitas tambang emas liar memang menyisakan banyak masalah. Para pekerja harus menghadapi risiko kecelakaan, penyakit, hingga kejar-kejaran dengan aparat penegak hukum.

“Tolong pak polisi, jangan cuma tangkap rakyat kecil yang cari makan. Kami juga ingin bekerja legal,” pinta Supri.

Di sisi lain, warga berusaha memperbaiki lahan bekas galian. Ada yang menutup lubang, menanam pohon, hingga membuat kolam ikan. “Bekas tambang bisa jadi lapangan olahraga gastrak, kebun sawit, atau kolam ikan,” tambah Sirat.

Kisah mereka adalah potret nyata kehidupan rakyat kecil di tengah melimpahnya sumber daya alam. Dengan kerja keras, mereka bisa bertahan hidup, tapi tetap dihantui ketidakpastian.

Kini, para penambang dan warga Ketapang hanya berharap adanya kepastian penetapan WPR dan penerbitan IPR sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Sebab bagi mereka, tambang bukan sekadar mencari emas, melainkan mencari hidup.